Sabtu, Juli 24, 2010

Air Mata, Simbol ‘Seribu Bahasa’

Beberapa hari ini waktu luangku di isi dengan mengelompokan kembali file-file di komputer, ini akibat ulah Si montir-montir ‘kece’ yang telah berbaik hati memformat semua data D dan E di CPU-ku. Niat hati mau memberantas virus yang menyerang program komputer, namun Allah menguji kesabaran,—takdir berkata lain—syukurnya ada data-dataku yang masih bisa diselamatkan sekitar 7 GB dari 22 GB yang tersimpan. Kejadian ini yang telah menuntun aku untuk membaca tulisanku tentang ‘Air Mata Gaza’. Tapi catatan ini bukanlah untuk membahas tulisan itu kembali. Aku hanya berfikir tentang ‘Air Mata’, sebuah tema yang menarik untuk dibahas—setidaknya bagi diriku secara pribadi.

Air mata adalah anugrah Illahi, sebagai—salah satu—bentuk kesempurnaan ciptaan-Nya. Sepanjang pengetahunku yang masih dangkal—air mata merupakan keunikan yang hanya dimiliki oleh manusia. Sangat bermanfaat bagi insan ciptaan-Nya, sebagai simbol untuk meluahkan ‘seribu bahasa’. Air mata mewakilkan ekspresi manusia tanpa tutur kata, bisa untuk menghanyutkan lelahnya jiwa, rasa duka, kecewa, dan bahkan bisa jadi ungkapan suka cita dan bahagia. Air mata bisa menjadi sarana untuk hal yang negatif, yang membuahkan dosa. Serta bisa untuk hal yang positif yang berbuah pahala di sisi-Nya.

Sungguh ajaib ciptaan Allah yang satu ini, berbentuk cairan bening yang keluar dari pelupuk mata meleleh menganak-sungai di pipi dan hanya diproduksi ketika dibutuhkan. Air mata buaya, ungkapan ini mungkin sudah familiar terdengar di telinga kita. Ini bukanlah air mata yang dikeluarkan oleh buaya, jenis hewan bertulang belakang yang melata itu. Tetapi air mata buaya merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut tangis pura-pura para penggombal dan pendusta. Biasanya mereka memakai air mata untuk memberdayakan mangsanya. Contoh penyalah gunaan karunia Tuhan untuk hal yang negatif.

Air mata para pecinta Al-Qur’an. Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. membaca awal surat An-Nisa’ di hadapan Rasulullah saw. dan ketika itu ia sampai pada ayat,

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu". [Q.S An-Nisa’ : 41]

Rasulullah saw berkata:

“Cukuplah sampai di situ bacaanmu, wahai Ibnu Mas’ud”.

Ibnu Mas’ud melanjutkan ceritanya, “Lantas Aku melihat ke arah beliau, dan Aku melihat kedua pelupuk matanya bercucuran air mata. Sungguh, Rasulullah saw orang yang sangat mencintai Allah, dan ketika mendengar kata-kata (firman) dari yang dicintainya, beliaupun menangis”.

Alkisah pada saat para sahabar Rasulullah saw berkumpul, Umar Bin Khattab ra berkata kepada Abu Musa,”Wahai Abu Musa, ingatkanlah kami kepada Tuhan kami”. Maka Abu Musa pun membacakan Al-Qur’an dengan suarannya yang indah, sementara para sahabat mencucurkan air matanya, “Sungguh aku ‘kan menangis mendengar firman-Nya. Bagaimanakah kiranya dengan mataku seandainya melihat wujud-Nya”.

Inilah air mata para pecinta Al-Qur’an, tangis yang bercucuran karena Tuhan bukan karena kemunafikan. Jadi bersyukurlah kita atas karunia Allah yang satu ini yaitu air mata, dengan menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai-Nya, bukan untuk memberdayakan makhluk-Nya.

Wallahua’lam.
*******

Renungan ‘tuk menyambut bulan Ramadhan, bulan diturunnya Al-Qur’an.

Referensi: Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny. (2006). Renungan di Bulan Ramadhan. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Sabtu, Juni 05, 2010

Kebahagiaan: Keseimbangan Antara Tubuh, Akal dan Ruh


Judul buku: Seni Menikmati Hidup
Penulis: DR. Taufik A. Al-Kusayer
Penerjemah: Fakhruddin Sarkosih
Penerbit: Tarbawi Press
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: xxv - 409 halaman




Kebahagiaan dan kesuksesan adalah dua kata yang hampir setiap saat selalu kita cari dan kita perjuangkan dalam hidup ini. Kita belajar, bekerja, beribadah dan beraktifitas yang lain, semuanya bertujuan agar hari-hari kita diliputi kebahagiaan; ada senyum, ada tawa, ada ceria, ada cinta, serta ada eksistensi dan pengakuan.

Ironinya, untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup di zaman sekarang bukanlah hal yang mudah, walaupun kita berada di era modern dengan berbagai fasilitas dan teknologi yang menunjang dan memudahkan kita untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Akan tetapi, semua kemewahan fasilitas dan teknologi yang mendukung kita untuk mencapai kebahagiaan—pada umumnya—bersifat temporal, karena hanya berupa materi. Ini terbukti dengan banyaknya orang yang hidup bergelimang harta, namun hidupnya hampa. Ada yang stress, bimbang, cemas, merasa asing ditengah keluarga, dan hal-hal yang menimbulkan depresi serta jauh dari kebahagiaan yang diharapkan.

Berlatarkan fenomena seperti ini, para ahli psikologi banyak yang membahas tentang tema kebahagiaan (happiness), sehingga melahirkan aliran-aliran baru dalam psikologi tentang kebahagiaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kita temui buku-buku yang mengangkat tema tentang kebahagiaan, adanya seminar-seminar dan training motivasi, talk show di radio dan televisi, serta minculnya website yang juga mengangkat tema kebahagiaan.

Buku Seni Menikmati Hidup yang ditulis oleh DR. Tawfik Al-Kusayer, seorang ahli nuklir lulusan Iowa State University, USA, yang berasal dari Saudi Arabia ini merupakan salah satu buku yang mengangkat tema tentang kebahagiaan. Dengan tesis yang diusung yaitu, kebahagiaan adalah seni menyeimbangkan antara dimensi akal, tubuh dan ruh.

Al-Kusayer menyatakan bahwa sumber kebahagiaan yang hakiki berasal dari dalam diri seseorang, dengan perasaan ridho, ketenangan jiwa, keceriaan dan rasa menikmati. Dimensi akal, tubuh dan ruh ini merupakan faktor pendorong dan kekuatan yang saling berhubungan erat, yang musti dijaga keseimbangannya. Jika hubungan antara faktor pendorong dan kekuatan ini tidak seimbang, maka kebahagiaan itu akan kurang dan tidak sempurna.

Sementara menurut Al-Kusayer, faktor eksternal bukan merupakan sumber kebahagiaan, sehebat apapun itu, karena kondisi luar hanyalah bersifat temporal. Selama seseorang tidak menyiapkan faktor-faktor kebahagiaan secara internal, maka dia tidak akan meraih kebahagiaan, akan tetepi dia akan melewati gelombang kebahagiaan secara temporal dan berbentuk potongan-potongan yang tidak utuh dari kebahagiaan. Sehingga orang seperti ini bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak bahagia (Al-Kusayer, 2009 : 41).

Buku ini bisa membantu kita untuk menemukan bagaimana cara membangun kebahagiaan dari dalam diri. Buku ini juga mengenalkan kepada kita, tentang metode-metode khusus dalam membangun kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dilengkapi dengan CD yang berisi pertanyaan-pertanyaan, yang jika dijawab kita akan bisa melihat aura yang menyelubungi tubuh kita.

Tak tanggung-tanggung, DR. Al-Kusayer telah menghabiskan waktu selama lebih dari delapan tahun untuk mengeksplorasi, meneliti, mengkaji hasil terkini yang dicapai oleh pusat-pusat kajian internasional dari universitas-universitas besar, lembaga-lembaga serta laboratorium-laboratorium penelitian. Disertai lebih dari 150 referensi ilmiah modern yang berbicara tentang ilmu-ilmu energi, aura dan cara mengendalikannya. Sebelumnya, Al-Kusayer telah melakukan kajian yang mendalam, pemantauan yang sangat teliti tentang realitas masyarakat Arab dan masyarakat Barat sehingga bisa menghasilkan teori modern tentang prilaku manusia, faktor-faktor pendorongnya dan bagaimana aura dan spektrum yang menyelubungi tubuh manusia terbentuk, sehingga bisa menjadi perisai yang menjaganya dari pengaruh luar.

Uniknya, buku ini tetap tidak mengabaikan pendekatan dan perspektif agama, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penghambat dalam mencari kebahagiaan. penulisnya telah berhasil memadukan kepakarannya dibidang energi dengan ilmu-ilmu Islam untuk mengungkap rahasia dan metode meraih kebahagiaan dan kesuksesan.

Sisi lemah dari buku ini masih terdapat kesalahan dalam pengetikan dan beberapa istilah yang rumit. Namun ini tak mengurangi kualitas buku, yang mampu mengungkapkan sumber-sumber kegelisahan, kesedihan dan perasaan cemas yang masuk ke wilayah ruh, akal dan tubuh, sehingga kita bisa menggantikannya dengan kebahagiaan, kepuasan, kesenangan dan kesuksesan.


Wallahu’alam

*******

Sabtu, Maret 27, 2010

Agama Bangsa Arab Sebelum Nubuwah

Pendahuluan
Sebelum Nubuwah (Risalah Islam) ada beberapa agama yang dianut oleh bangsa Arab. Agama Paganisme (penyembah berhala), Majusi(penyembah api), Shabi’ah (agama kaum Ibrahim Chaldeans) dan Agama Samawi (Yahudi dan Nasrani).

Pembahasan

1. Agama Paganisme

Pada awalnya bangsa Arab mengikuti dakwah Isma’il AS yang menyeru kepada millah (agama) Ibrahim AS, yang menyembah dan mengesakan Allah serta memeluk agama-Nya. Namun seiring dengan berjalannya waktu kebanyakan masyarakat Arab melalaikan Millah Ibrahim, walaupun masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar agama yang masih mereka pakai—seperti pengagungan terhadap Ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, wuquf di Arafah dan Muzdalifah—hingga datangnya seorang lelaki yang bernama Amr bin Luhay [Sang Agen/Sang Perantara, meminjam istilah Salim A. Fillah—pen] pemimpin Bani Khuza’ah. Dia dikenal sebagai seorang yang bijak, rajin bersedekah dan sangat peduli dengan urusan agama, sehingga semua orang mencintainnya dan hampir-hampir kaumnya menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.

Pada suatu ketika Amr bin Luhay melakukan perjalanan ke Syam, sebuah negeri yang ketika itu menjadi model kemajuan. Dari Makkah ke Syam, ia seperti orang udik masuk peradaban—jika dibandingkan dengan saat ini mirip orang Indonesia ke Amerika Serikat. Di sana, dilihatnya penduduk Syam ini menyembah berhala. Tanpa perlu ikut ‘kuliah bertahun-tahun’—atau cuci otak—Amr bin Luhay ini langsung menyimpulkan ini adalah hal yang baik dan benar. Dengan logika yang simpel ia berargumen “Syam adalah tanah tempat diutusnya para Rasul dan negeri diturunkannya kitab suci”.

Sepulangnya dari melancong ke Syam, Amr bin Luhay membawa ‘oleh-oleh’ Hubal [sebuah hardware berhala yang disertai software kemusyrikan—istilah Salim A. Fillah, pen] dan meletaknya di dalam Ka’bah. Maka penduduk Makkah yang menganggapnya sebagai ulama, segera mengikuti penyekutuan terhadap Allah. Hampir seluruh orang-orang dataran Hijaz, Najd, Yamamah hingga Yaman mengikuti penduduk Makkah—karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk Tanah Suci—ini ditandai dengan munculnya berhala Manat yang ditempatkan di Musyallal di tepi Laut Merah di dekat Qudadi, Lataa di Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Manat, Lataa dan Uzza ini merupakan tiga berhala yang paling besar. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan bermunculan berhala-berhala yang lebih kecil di setiap tempat Hijaz.

Melangkah lebih jauh, Amr bin Luhay ini melakukan penggalian arkeologis terhadap berhala-berhala kaum Nuh yang terpendam disekitar Jiddah. Dia berhasil menemukan kembali Wadd, Suwa’, Yaghuts, Yu’uq dan Nasr, dengan bantuan jin. Potret orang-orang shalih yang dipertuhankan itu dibawa ke Tihamah, dan setelah musim haji ditempatkan kembali kedudukannya sebagai sesembahan. Sehingga setiap kabilah dan setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memenuhi Masjidil-Haram dengan berbagai macam berhala dan patung. Tatkala Rasulullah SAW menaklukan Makkah, disekitar Ka’bah ada 360 berhala, beliau menghancurkan berhala itu, mengeluarkannya dari masjid dan membakarnya.

Tak hanya itu, Amr bin Luhay juga menciptakan beberapa tradisi dan penyembahan terhadap berhala. Sementara orang-orang mengira apa yang dilakukannya itu sesuatu yang baru dan tidak mengubah agama Ibrahim. Ritual yang dilakukan terhadap berhala yaitu thawaf, bersujud dan memohon sesuatu kepada berhala, berhaji, berkurban dan bernadzar untuk berhala. Serta aneka ritual lainnya yang menjijikan bagi kita, tapi tidak bagi masyarakat Makkah ketika itu, yang dengan kagum memandang Amr bin Luhay.

Kemudian muncul pertanyaan, Apakah sebodoh itu bangsa Arab Jahiliyah, dengan mudahnya menerima dan mengikuti ritual baru yang diciptakan oleh Amr bin Luhay ? Adakah seperangkat logika yang meyakinkan bangsa Arab atas ritual paganisme ini ? Ternyata memang ada—‘logika perantara’—yang diproklamasikan oleh Amr bin Luhay, Sang Agen, pembawa ide logika perantara paganisme di Jazirah Arab.

“...kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya...” (Q.S Az-Zumar :3)

“Allah”, kata kunci logika itu, “Dzat yang Menciptakan kita, dia itu Maha Tinggi, Maha Mulia, dan Maha Suci. Sedangkan manusia hanyalah makhluk yang rendah, hina dan penuh noda. Sungguh tak pantas, makhluk yang rendah memohon langsung pada Yang maha Tinggi. Sungguh tak patut makhluk yang hina bersimpuh didekat-Nya Yang Maha Mulia. Dan sungguh tak layak bagi insan penuh noda mencoba meraih kasih-Nya Yang Maha Suci. Sungguh Dia Maha Agung di langit, takkan terjangkau bagi kita yang berkubangan di palung samudera kehinaan.” Sehingga logikanya manusia butuh ‘perantara’.

Kita ambil contoh terhadap Lataa, salah satu berhala terbesar, yang namanya ditafsirkan sebagai bentuk feminin dari kata Allah.. Lataa adalah seorang wanita yang kaya dan dermawan, setiap tahunnya selalu menjamu para tamu Allah yang datang berhaji ke Baittullah dengan jamuan roti nan lebar yang dicelupkan ke kuah daging yang kental dan minuman yang menyegarkan. Bahkan jamaah haji ini kalau kekurangan dana maka katakan pada Lataa, dia akan menyantuni para tamu Allah itu. Setelah wafatnya Lataa, ia dijadikan sesembahan.

Logikanya, dengan melihat kedekatan Lataa dengan Allah, dan ‘jasa’ Lataa dalam memberikan pelayanan dan jamuan terhadap tetamu Allah—dialah perantara yang tepat—tentu Lataa sudah diberi banyak kewenangan oleh Allah di surga untuk menentukan nasib manusia di dunia—istilah kerennya, pasti Lataa telah jadi asisten Allah yang mengurusi bidang tertentu. “Jadi kalau meminta hal yang remeh-remeh, nggak usah pada Allah. Malu-maluin! [Masak Allah ngurusin hal-hal remeh, masih banyak pekerjaan Allah yang lain yang lebih besar dari yang kita minta, makanya permohonan kita yang kecil-kecil itu ditundanya. Kan sudah ada Lataa asisten Allah di surga sana! Minta saja sama Lataa !!!]. Jadi buat apa repot-repot menyembah Allah kalau Lataa lebih ngertiin kita !!!

Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Luar biasa logika perantara ini. Begitu juga dengan Manat, ‘Uzza, Hubal dan ratusan berhala lain—dan bahkan para malaikat dilogikakan. Merunut sejarahnya, logika ini juga terpakai dalam penuhanan Isa sebagai juru selamat yang dianggap menebus dosa manusia di kayu salib. Atau ketika orang Yahudi begitu bersemangat mengatakan ‘Uzair anak Allah. Dan bahkan pada penuhanan orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuts, Yu’uq dan Nasr. Logika perantara ini begitu mendarah syaraf di tubuh kemusyrikan.

Sedihnya, logika ini tak kunjung lenyap. Bahkan hingga kini. Banyak dukun, paranormal, hingga yang menyebut diri Ustadz dan Kyai menggunakan logika ini untuk meraih sesuatu di sisi manusia. Mereka mengambil peran ‘perantara’. Dan manusia pun berbondong-bondong memakainya untuk memintas jalan hajat hidup mereka.

2. Agama Majusi

Lebih banyak berkembang dikalangan orang-orang Arab yang berdekatan dengan orang-orang Persi. Juga berkembang dikalangan orang-orang Arab Iraq dan Bahrain serta wilayah pesisir Teluk Arab dan Ada juga di Yaman.

3. Agama Shabi’ah, menurut beberapa catatan dan kisah berkembang di Iraq dan tempat lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrahim Chaldeans.

4. Agama Yahudi dan Nasrani.

Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka berada di wilayah Jazirah Arab. Pertama, eksodus pada masa penaklukan bangsa Babilonia dan Asyur di Palestina di tangan Bukhtanashar pada tahun 587 SM. Sebagian dari mereka meninggalkan Palestina dan pindah ke Hijas bagian utara. Kedua, pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 Masehi. Bangsa Romawi menekan orang-orang Yahudi dan menghancurkan haikal-haikal mereka, sehingga kabilah-kabilah Yahudi pindah ke Hijas, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima. Hingga Islam datang kabilah Yahudi yang terkenal adalah Khaibar, Nadhir, Musthaliq, Quraizhah dan Qainuqa.

Sedangakan agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab lewat pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Habasyah menakluk Yaman pada tahun 340 M, kemudian Dzu Nuwas dan Abrahah kemudian menjadi penguasa baru di Yaman. Mereka begitu bersemangat menyebarkan agama Masehi, sampai-sampai Abrahah membangun gereja di Yaman yang dinamakan Ka’bah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa Arab berhaji ke gereja ini dan hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Namun Allah membinasakannya. Sedangkan Bangsa Arab memeluk agama Nasrani ini dari suku-suku Ghassan, kabilah-kabilah Taghlib, Thayyi dan yang berdekatan dengan orang-orang Romawi.

Penutup

Inilah agama-agama yang ada di Jazirah Arab pada saat kedatangan Islam, yaitu Paganisme, Majusi Shabi’ah, Yahudi dan Nasrani. Namun agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas ke kehidupan sosial dan politik.

Tema kali ini lebih banyak membahas mengenai paganisme ala bangsa Arab Jahiliah yang membuat sekutu-sekutu Allah dengan rumusan ‘logika perantara’ dalam beribadah, dan jika dibandingkan betapa simpelnya theologi Islam, yaitu Allahu Ahad, Allah itu Esa, Tiada tuhan selain Allah, tak ada sesutu apapun yang pantas menjadi sekutu dan berhak untuk disembah selain kepada-Nya. Lalu pelajaran atau hikmah apa yang dapat kita petik dari tema ini ?

Wallahu’allam

*********

Sumber:
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. (2008). Sirah Nabawiyah.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Salim A. Fillah. (2006). Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta: Pro-U Media.