Kamis, Mei 19, 2011

Ketika Allah berkata Tidak !

Ya Allah, ambillah kesombongan dariku....
"Tidak. Bukan AKU yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya !"

Ya Allah, berilah aku kesabaran....
"Tidak. Kesabaran diperoleh dari ketabahan dalam menghadapi cobaan. AKU tidak memeberikan kesabaran, engkau harus meraihnya sendiri !"

Ya Allah, berilah aku kebahagiaan....
"Tidak. AKU memberi keberkahan dan hikmah, sedangkan kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri !"

Ya Allah, jauhkanlah aku dari kesusahan....
"Tidak. Penderitaan akan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu padaKU !"

Ya Allah, beri aku segala yang menjadikan hidup ini nikmat....
"Tidak. AKU beri kau akal dan kalbu serta Al-Qur'an, supaya kau dapat menikmati kehidupan !"


Sumber:
Sentuhan Kalbu

Jumat, April 22, 2011

Andaikan Ini (Menikmati) Satu Hari Terakhir

Mencoba untuk menuangkan pikiran yang melintas dibenak... Entahlah, tiba-tiba pikiran 'Satu Hari Terakhir' ini datang 'menggoda'. Yuk, mari kita berandai-andai. Sejenak bermain-main dengan imajinasi....

Ada dua pikiranku mengenai satu hari terakhir.....

1. Alamanda Satu Hari Terakhir

Bagiku, berada di sini merupakan salah satu anugrah terindah yang aku nikmati. Bahagia bisa bersahabat dan bersaudara dengan orang-orang yang luar biasa. Berada di antara kumpulan orang-orang yang ber-keterbatasan dan ber-kelebihan. Tentu aku pun juga memiliki kelebihan dan keterbatasan diri. Namun satu hal yang membuat aku takjub, ketulusan yang mereka beri. Mereka turut bahagia dan mendorong segala kelebihan yang aku miliki tanpa terbesit iri dan menutupi keterbatasanku dengan kelebihan mereka dengan rela. Mereka hadirkan keseimbangan dalam hidupku, terkadang jadi pemberat agar aku tak melayang dalam bergerak cepat dan terkadang meringankan saat aku tertatih-tatih dalam menapaki langkah. Mungkin itulah perjalanan hidup, ada kala menurun dan ada kala jalannya menanjak.

Flash-back.....saat menapaki langkah pertama di sini....menyusuri koridor yang berfungsi ganda sebagai mushola, hawa sejuk dan tenangnya perlahan-lahan menyusup-menyusuri relung hati. Plus sapaan makhluk 'aneh' yang ramah lengkap dengan senyum hangatnya, mencairkan persepsi yang tanpa sadar telah mengkristal bak gunung es di kutub utara....

Yah...perlahan namun pasti, aku terkesan !!!

Lengkap dengan 'bonus' pemandangan alam yang disaksikan dari balkon, mengingatkan aku dengan roman-roman angkatan balai pustaka yang mendeskripsikan tentang kota Padang--yang dikelilingi oleh benteng alam bukit barisan serta hamparan Samudra Hindia yang luas membentang. Satu kesan yang senantiasa membekas di hati... sulit untuk pergi...karena aku telah jatuh hati di sini.

Mengenang kembali bagaimana aku bisa betah tinggal serumah dengan makhluk-makhluk 'aneh' ini... Kalau ketemu lawan jenis di jalan, jalannya nunduk-nunduk, andaikan di depan ada tiang listrik bisa nabrak [upss...tapi ini fakta ^_^]. Hufft...amat beda dengan aku, yang dulu terbiasa berinteraksi dengan laki-laki [habis saudara-saudara kandungku tak ada yang perempuan].... Jawabannya.... ada dua hal penting yang aku dapatkan di sini, rasa aman dan nyaman.
Kecenderungan hati yang mencari aman dan mendambakan kenyamanan...

Tak terbayangkan suatu hari nanti aku akan menapaki langkah kembali, perlahan-lahan menjauh dari sini. Bayangan itu merupakan keniscayaan, karena hidup merupakan perjalanan panjang mengumpulkan bekal untuk menuju keabadian [Jannah].

Namun aku pergi bukan dengan hati yang 'kosong' seperti pertama kali menyusuri koridor. Aku pergi dengan berjuta kenangan indah di hati...yang mungkin bakalan menjadi True Story-ku. Mungkin kelak akan menjadi kisah kerinduan, seperti pertama kali aku merindukan rumah orang tuaku ketika aku harus 'bermain di luar', yang kata ayah-bundaku semuanya ini harus aku lalui demi masa depanku kelak yang lebih indah.

Entahlah...andaikan ini satu hari terakhir di Alamanda, aku ingin mengelilingi tiap pojok serinci-rincinya tanpa ada yang terlewati demi mempertajam warna lukisan di hati. Dan tentu aku akan menghabiskan waktuku untuk bercengkerama bersama mereka....yang entah di waktu kapan bisa berjumpa kembali. Mengucapkan sebait kata, 'Semoga ALLAH meridhoi reunian kita kelak di Jannah-NYA....dan....ketahuilah aku ingin kelak kita kembali bertetangga di Syurga bersama Rasulullah SAW yang mulia'. Semoga ALLAH memperkenankan cita-cita kita, aamiin.

2. Satu Hari Terakhir di Dunia

Kira-kira apa yang akan kita lakukan..... andaikan datang pesan yang mengingatkan kita, 'waktumu untuk hidup tinggal satu hari lagi'. Panik kah ??? buru-buru untuk beribadah, berdo'a memohon ampunan atau kita tetap bersantai menikmati hari seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi....RENUNGKANLAH !


*****
Note:
Dalam Selimut Malam: Sekedar coretan tak telalu penting dari sesosok insan yang tengah belajar tuk MANDIRI ^_^

Minggu, April 17, 2011

Refleksi Diri

Ilustrasi:
Di satu kelas pada mata pelajaran Biologi, Sang Guru bertanya kepada muridnya: "Anak-anakku, kira-kira menurut kamu apa yang membuat ikan yang hidup bertahun-tahun di laut yang asin tetap tawar ? " Murid-murid sibuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Sang Guru. Seketika kelas menjadi hening...semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lalu selang beberapa menit kemudian tiba-tiba seorang anak laki-laki yang duduk di pojok kanan belakang mengacungkan jarinya. "Saya bisa Bu... Saya pikir itu karena ikannya masih hidup Bu ! Coba kalau ikannya mati, direndam dalam air asin hanya beberapa jam saja ikannya langsung berasa asin".

*******

Kata kunci:
Ikan, Laut, Asin, Ikan Hidup dan Ikan Mati.


Logikanya dapat disimpulkan, ikan yang hidup akan tetap tawar, walaupun hidup bertahun-tahun di laut yang asin dan luas. Sementara itu, ikan yang mati hanya selang beberapa jam akan berasa asin jika direndam dalam air asin, walaupun air asinnya cuma satu ember.
Sesuatu yang dikatakan hidup diantaranya ditandai dengan bergerak dan tumbuh.

Ikan diibaratkan dengan manusia dan laut adalah tempat hidup, sedangkan rasa asin diumpamakan dengan segala macam problema.

Begitulah manusia, bila jasadnya hidup diiringi dengan akal dan hati yang hidup, maka segala macam problema yang kita hadapi tak akan memepengaruhi kualitas diri. Apapun itu permasalahannya. Baik itu besar maupun kecil. Maka BERGERAK dan TUMBUHLAH !!! dengan itu menandakan ENGKAU HIDUP dan BERKUALITAS.


*******
Note:
Balkon lantai 3 Alamanda: Mempertajam analisis wacana.

Kamis, Maret 10, 2011

Pesan Ayah Ibu......

Anakku yang ku sayangi.......

Pada suatu saat dikala kamu menyadari bahwa aku telah menjadi sangat tua, cobalah berlaku sabar dan cobalah mengerti aku.
Jika banyak makanan yang tercecer dikala aku makan.....
Jika aku kesulitan dalam mengenakan pakaianku sendiri......sabarlah !!!

Kenanglah saat-saat dimana aku meluangkan waktuku untuk mengajarimu tentang segala hal yang kau perlu tahu, ketika kau masih kecil.

Jika aku mengulang mengatakan hal yang sama berpuluh kali, jangan menghentikanku ! Dengarlah aku !
Ketika kau kecil, kau selalu memintaku membacakan cerita yang sama berulang-ulang, dari malam yang satu ke malam yang lain hingga kau tertidur, dan aku lakukan itu untukmu !
Jika aku enggan mandi, jangan memarahiku dan jangan katakan kepadaku bahwa itu memalukan. Ingatlah berapa banyak pengertian yang ku berikan padamu menyuruhmu mandi dikala kecilmu.

Aku mengajarimu banyak hal....... Cara makan yang baik, cara berpakaian yang baik, berperilaku yang baik.....bagaimana menghadapi problem dalam kehidupan.....!

Jika terkadang aku menjadi pelupa dan aku tidak dapat mengerti dan mengikuti pembicaraan, beri aku waktu untuk mengingat dan jika aku gagal melakukannya jangan sombong dan memarahiku, karena yang penting bagiku adalah....aku dapat bersamamu dan dapat berbicara padamu.
Jika aku tak mau makan, jangan paksa aku ! Aku tahu bilamana aku lapar dan kapan aku tak lapar.
Ketika kakiku tak lagi mampu menyangga tubuhku untuk bergerak seperti sebelumnya....bantulah aku dengan cara yang sama ketika aku merengkuhmu dalam tanganku, mengajarimu melakukan langkah-langkah pertamamu.....

Dan kala suatu saat nanti, ketika aku katakan padamu bahwa aku tak lagi ingin hidup......, ketika aku ingin mati...., jangan marah....., karena pada saatnya nanti kau juga akan mengerti !!!
Cobalah untuk mengerti bahwa pada usia tertentu, kita tidak benar-benar 'hidup' lagi, kita hanya 'tidak mati'.
Suatu hari kelak kau akan mengerti bahwa di samping semua kesalahan yang aku buat, aku selalu ingin apa yang terbaik bagimu dan bahwa aku siapkan dasar bagi perkembangan dan kehidupanmu kelak.
Kau tak usah merasa sedih, tidak beruntung atau gagal dihadapanku, melihat kondisiku dan usiaku yang sudah betambah tua.
Kau harus ada di dekatku, mencoba mengerti aku bahwa hidupku adalah bagimu, kesuksesanmu, seperti apa yang ku lakukan pada saat kau lahir.
Bantulah aku untuk berjalan, bantulah aku pada akhir hidupku dengan cinta dan kesabaran.

Satu hal yang membuatku harus berterimakasih padamu adalah senyum dan kecintaanmu padaku.
Aku mencintaimu anakku........

Ayah Ibumu......

Kamis, Maret 03, 2011

Tuhan Sembilan Senti

Oleh: Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Sabtu, Juli 24, 2010

Air Mata, Simbol ‘Seribu Bahasa’

Beberapa hari ini waktu luangku di isi dengan mengelompokan kembali file-file di komputer, ini akibat ulah Si montir-montir ‘kece’ yang telah berbaik hati memformat semua data D dan E di CPU-ku. Niat hati mau memberantas virus yang menyerang program komputer, namun Allah menguji kesabaran,—takdir berkata lain—syukurnya ada data-dataku yang masih bisa diselamatkan sekitar 7 GB dari 22 GB yang tersimpan. Kejadian ini yang telah menuntun aku untuk membaca tulisanku tentang ‘Air Mata Gaza’. Tapi catatan ini bukanlah untuk membahas tulisan itu kembali. Aku hanya berfikir tentang ‘Air Mata’, sebuah tema yang menarik untuk dibahas—setidaknya bagi diriku secara pribadi.

Air mata adalah anugrah Illahi, sebagai—salah satu—bentuk kesempurnaan ciptaan-Nya. Sepanjang pengetahunku yang masih dangkal—air mata merupakan keunikan yang hanya dimiliki oleh manusia. Sangat bermanfaat bagi insan ciptaan-Nya, sebagai simbol untuk meluahkan ‘seribu bahasa’. Air mata mewakilkan ekspresi manusia tanpa tutur kata, bisa untuk menghanyutkan lelahnya jiwa, rasa duka, kecewa, dan bahkan bisa jadi ungkapan suka cita dan bahagia. Air mata bisa menjadi sarana untuk hal yang negatif, yang membuahkan dosa. Serta bisa untuk hal yang positif yang berbuah pahala di sisi-Nya.

Sungguh ajaib ciptaan Allah yang satu ini, berbentuk cairan bening yang keluar dari pelupuk mata meleleh menganak-sungai di pipi dan hanya diproduksi ketika dibutuhkan. Air mata buaya, ungkapan ini mungkin sudah familiar terdengar di telinga kita. Ini bukanlah air mata yang dikeluarkan oleh buaya, jenis hewan bertulang belakang yang melata itu. Tetapi air mata buaya merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut tangis pura-pura para penggombal dan pendusta. Biasanya mereka memakai air mata untuk memberdayakan mangsanya. Contoh penyalah gunaan karunia Tuhan untuk hal yang negatif.

Air mata para pecinta Al-Qur’an. Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. membaca awal surat An-Nisa’ di hadapan Rasulullah saw. dan ketika itu ia sampai pada ayat,

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu". [Q.S An-Nisa’ : 41]

Rasulullah saw berkata:

“Cukuplah sampai di situ bacaanmu, wahai Ibnu Mas’ud”.

Ibnu Mas’ud melanjutkan ceritanya, “Lantas Aku melihat ke arah beliau, dan Aku melihat kedua pelupuk matanya bercucuran air mata. Sungguh, Rasulullah saw orang yang sangat mencintai Allah, dan ketika mendengar kata-kata (firman) dari yang dicintainya, beliaupun menangis”.

Alkisah pada saat para sahabar Rasulullah saw berkumpul, Umar Bin Khattab ra berkata kepada Abu Musa,”Wahai Abu Musa, ingatkanlah kami kepada Tuhan kami”. Maka Abu Musa pun membacakan Al-Qur’an dengan suarannya yang indah, sementara para sahabat mencucurkan air matanya, “Sungguh aku ‘kan menangis mendengar firman-Nya. Bagaimanakah kiranya dengan mataku seandainya melihat wujud-Nya”.

Inilah air mata para pecinta Al-Qur’an, tangis yang bercucuran karena Tuhan bukan karena kemunafikan. Jadi bersyukurlah kita atas karunia Allah yang satu ini yaitu air mata, dengan menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai-Nya, bukan untuk memberdayakan makhluk-Nya.

Wallahua’lam.
*******

Renungan ‘tuk menyambut bulan Ramadhan, bulan diturunnya Al-Qur’an.

Referensi: Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny. (2006). Renungan di Bulan Ramadhan. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Sabtu, Juni 05, 2010

Kebahagiaan: Keseimbangan Antara Tubuh, Akal dan Ruh


Judul buku: Seni Menikmati Hidup
Penulis: DR. Taufik A. Al-Kusayer
Penerjemah: Fakhruddin Sarkosih
Penerbit: Tarbawi Press
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: xxv - 409 halaman




Kebahagiaan dan kesuksesan adalah dua kata yang hampir setiap saat selalu kita cari dan kita perjuangkan dalam hidup ini. Kita belajar, bekerja, beribadah dan beraktifitas yang lain, semuanya bertujuan agar hari-hari kita diliputi kebahagiaan; ada senyum, ada tawa, ada ceria, ada cinta, serta ada eksistensi dan pengakuan.

Ironinya, untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup di zaman sekarang bukanlah hal yang mudah, walaupun kita berada di era modern dengan berbagai fasilitas dan teknologi yang menunjang dan memudahkan kita untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Akan tetapi, semua kemewahan fasilitas dan teknologi yang mendukung kita untuk mencapai kebahagiaan—pada umumnya—bersifat temporal, karena hanya berupa materi. Ini terbukti dengan banyaknya orang yang hidup bergelimang harta, namun hidupnya hampa. Ada yang stress, bimbang, cemas, merasa asing ditengah keluarga, dan hal-hal yang menimbulkan depresi serta jauh dari kebahagiaan yang diharapkan.

Berlatarkan fenomena seperti ini, para ahli psikologi banyak yang membahas tentang tema kebahagiaan (happiness), sehingga melahirkan aliran-aliran baru dalam psikologi tentang kebahagiaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kita temui buku-buku yang mengangkat tema tentang kebahagiaan, adanya seminar-seminar dan training motivasi, talk show di radio dan televisi, serta minculnya website yang juga mengangkat tema kebahagiaan.

Buku Seni Menikmati Hidup yang ditulis oleh DR. Tawfik Al-Kusayer, seorang ahli nuklir lulusan Iowa State University, USA, yang berasal dari Saudi Arabia ini merupakan salah satu buku yang mengangkat tema tentang kebahagiaan. Dengan tesis yang diusung yaitu, kebahagiaan adalah seni menyeimbangkan antara dimensi akal, tubuh dan ruh.

Al-Kusayer menyatakan bahwa sumber kebahagiaan yang hakiki berasal dari dalam diri seseorang, dengan perasaan ridho, ketenangan jiwa, keceriaan dan rasa menikmati. Dimensi akal, tubuh dan ruh ini merupakan faktor pendorong dan kekuatan yang saling berhubungan erat, yang musti dijaga keseimbangannya. Jika hubungan antara faktor pendorong dan kekuatan ini tidak seimbang, maka kebahagiaan itu akan kurang dan tidak sempurna.

Sementara menurut Al-Kusayer, faktor eksternal bukan merupakan sumber kebahagiaan, sehebat apapun itu, karena kondisi luar hanyalah bersifat temporal. Selama seseorang tidak menyiapkan faktor-faktor kebahagiaan secara internal, maka dia tidak akan meraih kebahagiaan, akan tetepi dia akan melewati gelombang kebahagiaan secara temporal dan berbentuk potongan-potongan yang tidak utuh dari kebahagiaan. Sehingga orang seperti ini bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak bahagia (Al-Kusayer, 2009 : 41).

Buku ini bisa membantu kita untuk menemukan bagaimana cara membangun kebahagiaan dari dalam diri. Buku ini juga mengenalkan kepada kita, tentang metode-metode khusus dalam membangun kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dilengkapi dengan CD yang berisi pertanyaan-pertanyaan, yang jika dijawab kita akan bisa melihat aura yang menyelubungi tubuh kita.

Tak tanggung-tanggung, DR. Al-Kusayer telah menghabiskan waktu selama lebih dari delapan tahun untuk mengeksplorasi, meneliti, mengkaji hasil terkini yang dicapai oleh pusat-pusat kajian internasional dari universitas-universitas besar, lembaga-lembaga serta laboratorium-laboratorium penelitian. Disertai lebih dari 150 referensi ilmiah modern yang berbicara tentang ilmu-ilmu energi, aura dan cara mengendalikannya. Sebelumnya, Al-Kusayer telah melakukan kajian yang mendalam, pemantauan yang sangat teliti tentang realitas masyarakat Arab dan masyarakat Barat sehingga bisa menghasilkan teori modern tentang prilaku manusia, faktor-faktor pendorongnya dan bagaimana aura dan spektrum yang menyelubungi tubuh manusia terbentuk, sehingga bisa menjadi perisai yang menjaganya dari pengaruh luar.

Uniknya, buku ini tetap tidak mengabaikan pendekatan dan perspektif agama, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penghambat dalam mencari kebahagiaan. penulisnya telah berhasil memadukan kepakarannya dibidang energi dengan ilmu-ilmu Islam untuk mengungkap rahasia dan metode meraih kebahagiaan dan kesuksesan.

Sisi lemah dari buku ini masih terdapat kesalahan dalam pengetikan dan beberapa istilah yang rumit. Namun ini tak mengurangi kualitas buku, yang mampu mengungkapkan sumber-sumber kegelisahan, kesedihan dan perasaan cemas yang masuk ke wilayah ruh, akal dan tubuh, sehingga kita bisa menggantikannya dengan kebahagiaan, kepuasan, kesenangan dan kesuksesan.


Wallahu’alam

*******